JAKARTA – Kisah Helen Keller, seorang tunanetra sekaligus tunarungu yang sukses menjadi penulis dan aktivis, berhasil menginspirasi Dian Inggrawati Soebangil. Dian sadar, lahir sebagai tunarungu total tidak mungkin berkomunikasi dengan jelas tanpa bantuan alat pendengar. Namun Dian tidak kalah dengan keterbatasannya. Ia menjadi tunarungu pertama dan satu-satunya yang mengabdi di Kementerian Sosial, serta menorehkan banyak prestasi.


Berita Khusus
Dian Inggrawati Soebangil

Sempat terpikir oleh Dian, apakah ia mampu seperti Helen Keller, penulis, aktivis, dan dosen ternama asal Amerika Serikat itu?

“Helen Keller adalah idola saya, beliau mematahkan teori bahwa seorang perempuan tuna ganda tak bisa menulis huruf abjad dan juga tidak bisa mendengar. Hingga beliau sukses dikenal oleh seluruh masyarakat dunia,” ungkap Dian mengawali kisahnya.

Meski memiliki artikulasi yang tidak sesempurna manusia awam, Dian dikenal pandai membaca gerak bibir atau bahasa oral, serta bahasa isyarat Indonesia dan internasional. Tanpa banyak berkata-kata, Dian selalu berusaha meyakinkan dirinya agar menjadi pribadi yang ramah dan disukai banyak orang.

Sejak usia empat tahun, kurang lebih 400 piala berhasil ia dapatkan dari berbagai macam ajang perlombaan. Sebut saja lomba melukis, busana, memasak, dan prakarya lainnya. Tangan terampilnya juga terlihat dari pilihannya menjadi siswa tata busana SMK Santa Maria, serta menjadi mahasiswa desain komunikasi visual Universitas Persada Indonesia.

Bahkan Dian mengukir namanya di tingkat internasional, yakni menjadi Runner Up II Miss Deaf World 2011 di Praha, Republik Ceko, serta Top 5 Miss Deaf International 2012 di Ankara, Turki. Dua penghargaan internasional itu membuatnya semakin mantap untuk mengejar banyak mimpi sebagai wanita tunarungu.

Tahun 2015 menjadi lembar baru bagi wanita kelahiran 12 April 1984 tersebut. Sebab untuk pertama kalinya, negara membuka kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Dian menjadi satu-satunya PNS wanita tunarungu di Kementerian Sosial. “Karena saya memiliki jiwa sosial besar, dan ingin memperjuangkan hak disabilitas, serta mengabdi pada negara,” tegas Dian.

Pada tahun yang sama, Dian dinobatkan sebagai Duta Bangsa Tingkat Global oleh Menteri Sosial. Tugasnya sebagai duta bangsa adalah memperjuangkan kesetaraan hak dan perlakuan antara penyandang disabilitas dengan mereka yang tidak berkebutuhan khusus.

Kini, ia dipercaya mengabdi pada jabatan Analis Tata Laksana Sekretariat Badan Pendidikan, Penelitian, dan Penyuluhan Sosial. Jiwa sosial Dian tersalurkan lewat pelayanannya di Kementerian Sosial. Ia memberikan sosialisasi serta motivasi bagi anak-anak Sekolah Luar Biasa (SLB) di berbagai daerah.

Setiap kali mendapat tugas kedinasan ke luar daerah, Dian menyempatkan diri berkunjung ke SLB Tunarungu di lokasi tempatnya bertugas. “Memberi motivasi dan inspirasi bagi anak-anak tunarungu dan orang tuanya, agar bisa mengikuti jejak saya,” ungkap Dian, salah satu peraih Piala Adhigana dalam ajang Anugerah ASN 2020 yang diselenggarakan Kementerian PANRB.

Tugasnya sebagai PNS tidak menahan Dian untuk aksi sosial lainnya. Saat ini Dian membina Yayasan Cahaya Mutiara Indonesia untuk membantu kemandirian anak-anak tunarungu agar bisa meraih cita-citanya. Ia juga membuka usaha kuliner Geprek Miss Dian, yang dikelola oleh dua orang difabel.

Tugasnya sebagai PNS tidak menahan Dian untuk aksi sosial lainnya. Saat ini Dian membina Yayasan Cahaya Mutiara Indonesia untuk membantu kemandirian anak-anak tunarungu agar bisa meraih cita-citanya. Ia juga membuka usaha kuliner Geprek Miss Dian, yang dikelola oleh dua orang difabel.

Buku itu kelak akan ia beri judul My Silence is Gold, bercerita tentang masa kecil hingga kariernya saat ini. Setelah buku itu selesai, ia kembali menyiapkan buku lain mengenai kisah sukses para penyadang tunarungu Indonesia.

Lingkungannya mengenal Dian sebagai pribadi yang tidak mudah menyerah dalam banyak pekerjaan. Dian selalu berkarya dalam keterbatasannya berkata-kata. Pada akhirnya ia mampu menaklukan keterbatasan dan menjadikannya sebuah kelebihan. “Dengan keterbatasan yang kita miliki bukan berarti membatasi hidup,” tegas Dian. (don/HUMAS MENPANRB)